Friday, March 14, 2008

...

"We don't read and write poetry because it's cute. We read and write poetry because we are members of the human race. And the human race is filled with passion. Medicine, law, business, engineering, these are all noble pursuits, and necessary to sustain life. But poetry, beauty, romance, love, these are where we stay alive for..." (Dead Poets Society, 1989)

Kutipan diatas adalah quotes favoritku dari semua quotation film manapun yang pernah ada di muka bumi ini. Ada yang salah ketika banyak orang 'meminggirkan' seni, terutama di negeriku yang konon kaya dengan keanekaragaan seni budayanya. Berapa banyak kah jumlah budayawan, sastrawan (yang betul-betul sastrawan, bukan sekadar pengarang chick's lit), seniman (anu bener seniman sanes so-called pekerja seni made in sinetron) dibandingkan dengan para eksekutif muda berdasi di jalan Sudirman, Jakarta atau bahkan birokrat di seputaran Istana Negara (errr..bukannya termasuk saya?) ?

Mengapa aku baru tersadar akan besarnya potensi art (mari ganti dulu aja kata2 seni) ini setelah aku tinggal di negeri yang diwarisi kultur Anglo-Celtic di belahan selatan ini? Di negara yang masih menyembah Queen Elizabeth II ini rasanya tidak begitu banyak aneka ragam budaya, tapi bisa menghargai art sedemikian besarnya. Disini, orang rela duduk menunggu hingga malam hanya untuk melihat sorotan sinar laser dimandikan pada gedung-gedung ala Victorian yang juga tak kalah indahnya. Pengalaman lain yang tidak pernah terlupakan adalah sewaktu menikmati penyanyi opera ngamen di sekitar Rundle St. She was awesome at that time!

Awalnya aku sering menggerutu, untuk nonton festival aja mesti bayar sekian, dan sekian... sampai tiba-tiba, hei, kenapa gue mau ngeluarin duit sekian dan sekian untuk beli t-shirt adidas mu yang akhirnya juga bulukan itu? Kenapa loe mau aja disuruh bayar segindang untuk 1 suit yang - katanya - bikin diriku chic kalo ke kantor yang kalo dipikir2 suit dengan harga yang 'masuk akal' saja udah cukup kalau hanya dipakai ke kantor? Pekerja seni pantas dihargai sama dengan desainer yang desainnya tadi aku beli. Mereka lah yang membuat hidup ini jauh lebih berwarna, bervariasi, dan juga sekaligus secara tidak langsung menyadarkan bahwa Sang Pencipta adalah seniman TERBESAR di seluruh alam semesta ini dengan 'karya-Nya'... mereka itu.

So, what's happened in my lovely country? Why that some of my countrymen said that what can you earn from art? Kenapa beberapa sejawat-sejawatku disini banyak yang lebih memilih tidur di rumah daripada sekadar mengeksplorasi ruang ini hanya dengan alasan, sekadar menghemat AUD nya? Art ternyata belum mendapat porsi yang layak di negara yang kaya akan potensi art nya. Dia hanya sebagai simbol di resepsi pernikahan, dia hanya dipakai sebagai topeng keglamoran para 'pekerja seni', dia diagung-agungkan hanya di buku-buku pelajaran anak sekolah. Mungkin aku terlalu skeptis, ya mungkin...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home