Monday, September 04, 2006

Menjadi Orang Indonesia

Beberapa waktu lalu sebuah TV Nasional menayangkan berita tentang razia Pemda DKI Jakarta Selatan terhadap rumah-rumah dan pertokoan yang tidak memasang bendera merah putih pada tanggal 17 Agustus 2006 karena menurut PP nomor sekian-sekian tanggal sekian tentang itu, hal tersebut melanggar. Mereka yang kedapatan tempat aktivitasnya tidak mengibarkan bendera atau umubul-umbul merah putih kemudian dibawa ke kelurahan setempat untuk kemudian dikenakan denda yang sebenarnya tidak seberapa. Salah seorang pemirsa yang kebetulan sedang melakukan interaksi melalui telepon dengan semangat 45 berkomentar bahwa nasionalisme sekarang telah luntur, hanya sekedar mengibarkan bendera saja tidak mau, tidak mengingat perjuangan para pahlawan yang berjuang hidup mati mengibarkan merah putih dan seterusnya dan seterusnya.

Begitulah, nasionalisme di Indonesia selalu dilihat dari sudut pandang simbol-simbol. Pahlawan bangsa sepertinya hanya untuk mereka yang menyandang senjata dan memasang Garuda di dada. Coba perhatikan Taman Makam Pahlawan, dimanapun sebagian besar ‘penghuni’nya adalah mantan Tentara. Rasanya kalau sudah jadi TNI, menjaga negara sudah ‘klop’ disebut pahlawan, entah bagaimana perilaku dia semasa hidup. Mestinya TMP diganti saja namanya dengan Taman Makam Tentara Plus alias TMTP, yah tetep lah pake plus.

Menjadi orang Indonesia itu katanya banyak susahnya daripada senengnya, bener gak sih ?. Perhatikan kehidupan masyarakat kita, Homo Homini Lupus kayaknya sudah jadi hal yang biasa, menghargai orang lain di jalan misalnya sudah hampir tak terlihat. Saling sikut-menyikut, salip-menyalip yang semua katanya demi bertahan hidup. Betulkah mata hati kita sudah mulai tertutup ? Belum lagi tentang korupsi, penggusuran, penindasan,bentrokan, kejahatan semuanya seperti hal-hal biasa yang mengisi lembaran perjalanan hidup, secara langsung atau tidak, melalui pemberitaan media atau dialami sendiri. Kadang-kadang saya berpikir kapan media itu memberitakan hal yang menyenangkan ? Harapan itu bukannya tidak ada, setidaknya harus diakui terbesit rasa bangga di dada ketika Tim Olimpiade Fisika Indonesia meraih juara umum, walau tidak terlalu jadi headline yang besar-besaran di media, kalah oleh oleh spot kontroversi pemberitaan pemilihan Miss Universe 2006.

Aku ingat dulu kala keran TV Swasta dibuka lebar-lebar, orang ribut tentang kekhawatiran pengaruh budaya luar yang ditayangkan TV swasta terhadap masyarakat. Ada pula yang berpendapat kalau tayangan luar yang terlalu banyak mempersempit kreatifitas dan kesempatan kita untuk berkreasi. Oke, kemudian arahan media itu beralih untuk memberi porsi pada produk-produk anak bangsa dan akhirnya memang produk lokal yang sekarang mendominasi. Apa yang terjadi ? Yang ada hanyalah konsep menelan mentah-mentah gaya barat yang bobrok ke dalam bentuk jahiliyah modern rasa lokal, terkadang jauh lebih buruk, pembodohan rasanya. Sekarang sebenarnya yang mana sih yang harus lebih dikhawatirkan ?

Sekali lagi sebenarnya bukan tanpa harapan. Di balik semua kita masih punya seorang Butet Manurung yang mau bersusah payah mengajar anak-anak Kubu di pedalaman Sumatera. Kita masih punya manusia-manusia expert, handal, dan sebagainya. Terlalu bombastis ? Kita masih punya orang-orang kecil yang mungkin hidupnya sendiri sudah susah namun masih rela menolong orang masih mau mengingat kepentingan orang lain. Aku masih ingat sebuah tayangan reality show yang memberi orang-orang kecil sejumlah uang dan diberi waktu untuk menghabiskan uang untuk membeli berbagai keperluan. Satu waktu ada seorang Bapak yang hidupnya hanya dari berjualan di warung kecil pada sebuah daerah kumuh di Jakarta mendapat kesempatan tersebut. Di akhir acara Bapak itu ternyata membeli beberapa karpet. Ketika ditanya untuk siapa karpet-karpet ini. ‘Satu untuk saya, kemudian sisanya saya akan berikan ke mushola di lingkungan tempat tinggal saya. Saya ikhlas’. Man, jika aku sendiri yang mendapat kesempatan, mungkin tidak memikirkan hal-hal itu.

(Ini hanya sebuah tulisan, mungkin tanpa solusi dengan argumentasi yang matang serta tanpa plot yang jelas. Aku tidak berniat untuk ber-revolusi atau semacamnya. Revolusi di negara ini hanya melahirkan episode-episode lanjutan dengan inti cerita yang sama. Mensyukuri nikmat-Nya jauh lebih berarti daripada berkoar-koar tanpa niatan yang pasti. Jika ingin perubahan mulai aja dari diri sendiri)

Akhirnya mumpung Agustus masih belum lama lewat, mari ucapkan Selamat Ulang Tahun Indonesia. Di hari jadi yang ke 61 ternyata dirimu masih belum dewasa ……

2 Comments:

Blogger Rudi Pg said...

Itulah kekurangan kita, baru mampu ngotot ngurusin simbol. Sebabnya: Ngecek pemahaman di balik simbol perlu metode yang gak simpel, sementara ngurusin simbol lebih jelas duitnya...
Media massa itu bisnis. Kita memang senang dgn berita baik, tapi berita buruk lebih menjual.
Gw udah lama ilfil sama sebagian besar media.
Hak berekspresi memang perlu, tapi bukan bebas bablas begitu. Hak suatu pihak selalu mempertimbangkan hak pihak lain, alias hak yang bertanggung-jawab.
Sekarang ini kan bebas tanpa mikir, efeknya itu gimana sih?
Alasannya, biar pemirsa yang menyaring. Sekarang, apa iya pemirsanya mampu menyaring? Alasannya, kan banyak yg suka. Banyak yang biasa nonton/baca. Kebiasaan itu ada yg baik ada yg buruk... Sesuatu yang gampang diterima itu bukan berarti baik, juga sebaliknya.
Lihat sekarang efeknya: kepribadian orang Indonesia cuma dipupuk jeleknya doang. Pesimis, skeptis, instan tanpa peduli proses, dsb.
Harusnya seimbang antara berita, hiburan, renungan, dsb.
Gak semua salah media memang. Justru di pundak pemimpin tanggung jawab ini terletak. Pemimpin itu definisi luasnya adalah orang yg diikuti, bisa pejabat, orang tua, atau bahkan sekedar orang yang merasa layak mengeluarkan pendapatnya di depan orang lain. Pemimpin formal adalah mereka yg pendapatnya didengar orang banyak dan berpengaruh ke orang banyak juga.
Kita semua sebenarnya harus berpikir dua kali untuk mengeluarkan pendapat yg cuma berupa ekspresi kekalahan, fitnah, berita penuh masalah tanpa solusi, dsb. Tapi jelas mereka yg bertempat sbg pemimpin formal sudah seharusnya lebih memperhatikan efeknya...

BTW: Masuk TMP perlu resume. Kalo semua tentara masuk situ, udah penuh dari dulu... Masalah kenapa tentara yg bisa masuk itu sih masalah teknis, gak berarti penyempitan arti pahlawan.

soripanjangkalikomengwkaliini

12:41 PM  
Blogger Andrian said...

Thx, eh soal TMP itu gue ga tau. Tapi yah kadang2 kan secara sekelabat kayaknya gitu soalnya.

6:42 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home